Tirtha Yatra merupakan kunjungan keagamaan ke tempat-tempat suci sebagai bhakti dan rasa terimakasih kita dengan didasari hati yang tulus ikhlas. Hal ini dilakukan agar kita sebagai umat Hindu dapat lebih mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa. Tirtha Yatra berasal dari kata Tirtha dan Yatra. Tirtha berarti air suci, sumber kehidupan. Yatra berarti perjalanan. Jadi, Tirtha Yatra berarti perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat suci untuk mendapatkan air suci guna membersihkan diri dan bertemu serta mendapatkan pencerahan setelah bertemu orang-orang suci. Tirtha Yatra dikenal sebagai peningkatan keagamaan umat Hindu sekaligus merupakan Yadnya. Yadnya adalah korban suci yang tulus ikhlas dan merupakan rasa terima kasih kita sebagai umat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan anugerah yang telah Ia berikan kepada seluruh umat-Nya. Melalui kegiatan Yadnya ini, diharapkan agar nantinya dapat memberi efek kesucian kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya. Dalam melaksanakan hak serta kewajibannya, umat Hindu dalam pencapaian Dharma, Artha, Kama dan Moksa yang berlandaskan Panca Sradha sebagai dasar kepercayaan / keyakinannya, yaitu: Keyakinan terhadap Brahman / Ida Sang Hyang Widhi, Keyakinan terhadap Atman, Keyakinan terhadap Karmaphala, Keyakinan terhadap Punarbhawa, dan Keyakinan terhadap Moksa. Ke-5 hal ini merupakan prinsip-prinsip ajaran Hindu yang dijadikan sebagai pedoman hidup dalam membangun manusia yang telah mencapai keseimbangan dan keselarasan dunia dan akhirat, sejahtera lahir dan batin, memperhatikan keseimbangan hubungan manusia dengan alam lingkungan. Pelaksanaan Tirta Yatra dengan tema “Melalui Tirtha Yatra Kita Tingkatkan Pemahaman dan Pengamalan Karma Puja Dalam Penguatan Mental Rohani Prajurit dan PNS TNI AD Untuk Mendukung Tugas Pokok TNI AD” ini dilaksanakan di beberapa Pura, sebagai berikut : I. Pura Agung Udayana – Makodam IX/Udayana (Matur Piuning, Senin, 14 Februari 2022) Dalam tradisi agama Hindu, matur piuning dilaksanakan ditempat suci seperti Pura, Candi dan lainnya. Matur piuning, dilaksanakan sebagai suatu upacara memohon restu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan Para Batara atau leluhur agar diberi keselamatan. Matur piuning pada umumnya dilaksanakan ketika akan melakukan suatu kegiatan seperti tirtayatra, perjalanan liburan, melaksanakan suatu kegiatan seperti bazar, melakukan pujawali, saat ingin mengikuti suatu kegiatan, ngaben dan lain sebagainya, termasuk matur piuning akan dilaksanakannya Tirtha Yatra Prajurit dan PNS Kodam IX/Udayana (15 – 17 Februari 2020).
Menurut Kabintaljarahdam IX/Udayana Letnan Kolonel Inf I Gusti Ngurah Wilantara, SE., M.A.P., dilaksanakannya matur piuning ini adalah agar kegiatan yang akan dilaksanakan mendapatkan kelancaran, keselamatan dan kesuksesan, untuk itu, kita harus menghadap dan memberitahukan (matur piuning) kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa kita akan melaksanalan kegiatan, paparnya, “Matur piuning juga bermakna sebagai simbol akan dimulainya suatu acara, oleh sebab itu dilaksanakan sebelum acara atau kegiatan dilaksanakan”, tambahnya.
Acara Matur Piuning ini, dilaksanakan pada saat kegiatan Sembahyang Siang Rutin Prajurit dan PNS Makodam IX/Udayana, bertempat di Pura Agung Udayana, dengan mempersembahkan daksina, banten dan canang sari, kemudian dipimpin oleh pemangku atau pinandita Kodam IX/Udayana Letkol Caj Putu Sutrisna (Kalak Bintal Bintaljarahdam IX/Udayana). Pada acara matur piuning ini diikuti oleh panitia dan para peserta Tirtha Yatra. Ada pun yang harus diperhatikan dalam melaksanakan matur piuning adalah baik buruknya hari. Sebab, umat hindu percaya bahwa baik buruknya hari sangat menentukan keberhasilan suatu upacara. Ini dapat ditentukan berdasarkan pananggal dan panglon, sasih, wuku dan dawu. Selain itu, hari baik melakukan matur piuning juga bisa dilakukan dengan meperhatikan hari-hari suci hindu seperti hari ini tepat hari Purnama. Kegiatan matur piuning dalam masyarakat Hindu khususnya , khususnya bagi Panitia UDG merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan. Karena mereka percaya bahwa jika hal tersebut tidak dilaksanakan, maka akan terjadi musibah yang tidak diinginkan. Untuk itu majib hukumnya untuk melaksanakan matur piuning meminta restu dan bimbingan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar kegiatan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan rencana. II. Pura Agung Jagatnata - Denpasar (Pembukaan, Selasa 15 Februari 2022) Pura Agung Jagatnatha adalah pura paling besar di Kota Denpasar. Lokasinya di Jalan Mayor Wisnu serta sangat strategis yakni tepat di sebelah timur Lapangan Puputan Badung dan bersebelahan dengan Museum Bali. Pura ini dibangun dengan posisi menghadap ke barat ke arah Gunung Agung. Dipercaya bahwa Gunung Agung adalah istananya para dewa. Pura Agung Jagatnatha dibangun sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Sejarah Pembangunan Pura Agung Jagatnatha Pembangunan Pura Agung Jagatnatha tidak serta merta dibangun begitu saja, namun melalui beberapa proses. Diawali dari banyaknya pendatang beragama Hindu yang datang ke Kota Denpasar dan tidak dapat menemukan tempat ibadah. Kemudian diadakan pesamuhan Parisada Hindu Dharma pada 20 November 1961. Pada pesamuhan ini disetujui dan direalisasikan untuk pembangunan sebuah pura. Akhirnya pada 5 Februari 1963, Gubernur Bali yang menjabat kala itu Bapak Anak Agung Bagus Sutedja, menyetujui dibangunnya pura tersebut. Lalu kemudian nama Pura Agung Jagatnatha diberikan secara resmi. Bukan hanya sebagai tempat peribadatan, pura agung yang satu ini juga dikunjungi wisatawan karena keindahan dan keunikan yang dimiliki. Lokasinya yang berada pada jalur wisata sehingga sangat strategis dan tidak pernah sepi pengunjung, baik yang datang beribadah maupun hanya untuk menikmati keindahan pura. Pura agung ini juga terbuka 24 jam bagi siapa saja yang datang untuk melakukan ibadah. Termasuk juga kedatangan para wisatawan. Namun, ada hal yang harus diperhatikan. Kita tetap harus menghormati dan tidak mengganggu kelangsungan para umat Hindu yang tengah beribadah di dalam pura ini. Kegiatan Pembukaan Tirtha Yatra Prajurit dan PNS TNI AD di Pura Jagatnatha ini, sebagai berikut : 1. Laporan Ketua Penyelenggara tentang pelaksanaan kegiatan Tirtha Yatra
2. Pembacaan Sambutan Kadisbintalad oleh Kasubdisbinrohhinbud Kolonel Inf Ida I Dewa Agung Hadisaputra, S.H., sekaligus membuka secara resmi Kegiatan Tirtha Yatra TA. 2022.
3. Sambutan Pangdam IX/Udayana yang dibacakan oleh Perwira Staf Ahli Pangdam IX/Udayana Bidang Hukum dan Humaniter Kolonel Arm I Made Sukarwa.
4. Dharma Wacana oleh Ida Pandita Mpu Acarya Nanda
5. Persembahyangan Bersama
6. Makan Siang, diawali Pengarahan dari Kasubdisrohhinbud 7. Serpas Menuju Pura Bukit Dharma Durgha Kutri Gianyar III. Pura Durga Kutri – Gianyar (Selasa, 15 Februari 2022) Berdasarkan prasasti di berbagai wilayah di Bali yang menunjuk keberadaan pura ini, Pura Bukit Dharma Durga Kutri diperkirakan sudah berdiri sejak 835 caka. Pada saat itu Bali diperintah oleh Raka Sri Kesari Warmadewa. Demikian diawali Ketut Windra, Bendesa Desa Pekraman Kutri sekaligus Manggala Pura Durga Kutri. Lokasi pura ini cukup mudah dicapai. Dia berada di lingkungan Banjar Kutri, Buruan di samping jalan utama menuju Blahbatuh, Gianyar. Pura ini terlihat dari luar seperti pura-pura di Bali pada umumnya. Namun, yang unik adalah pada bagian mandala utama terdapat bukit yang diselimuti hutan kecil. Pada puncaknya itulah distanakan arca Durga Mahisamardini Astabuja. Pura ini berawal dan berkembang sebagai sebuah kahyangan jagat dari pemerintahan Sri Kesari Warmadewa, Ugrasena, Tabanendra, Jayasingha, Mahadewi, Udayana. Pada saat pemerintahan Udayana, beliau didampingi permaisuri Gunapria Dharmapatni. Maka dari itu disebut sebagai raja sejoli. Beliau berkuasa sekitar abad ke 10. Kekuasaan kerajaan Bali pada saat itu hingga mencapai Timor Timur. Prasasti yang mendukung keberadaan pura ini adalah Prasasti Peguyangan, Tengkulak, Trunyan, Prangsada, dan sebagainya. Dalam prasasti Prangsada disebutkan: Sang Ari Anak Wungsu, Kunang Sira Sang Ibu Murwa Sira Mantuking Suryatmaka Dinarma Sira Ring Candi Ibu yang artinya Prabu Anak Wungsu meyakini ibunya Ratu Mahendradatta Udayana setelah wafat kembali ke inti Surya yaitu Wisnu, bersatu beliau secara simbol (Arcanam) di tempat pemujaan beliau (Candi Burwan). Dari prasasti tersebut dapat dijabarkan makna yang terkandung di dalamnya, yaitu Raja dan umat pada saat itu Pemuja Surya (Wisnu), Pura Bukit Dharma sudah ada pada masa Ratu Mahendradatta memerintah, di mana terdapat suatu benda dalam bentuk Arca Durga Ma (Ibu Durga). Hal ini terlihat pada kalimat beliau bersatu dengan yang dipuja di tempat beliau memuja. Yang dipuja di tempat beliau memuja adalah Suryatmaka ( Inti Surya yaitu Wisnu), Hyang Widhi dalam fungsi memelihara Jagat raya. Dengan demikian Pura Bukit Dharma adalah Kahyangan Widhi. Prasasti lain yang mendukung adalah Prasasti Peguyangan. Prasasti ini menjabarkan keagungan Tuhan yang dipuja di Buruan dijadikan dasar hidup bernegara dan beragama oleh masyarakat di bawah kekuasaan Ratu Mahendradata Udayana. Barang siapa yang sudah melaksanakan hidup bermasyarakat Grahasta, diwajibkan menjalani hidup bernegara dan beragama seperi yang ditetapkan oleh pemerintah pada saat itu. Apabila dalam hidup ini umat berjalan di jalan dharma sesuai dengan apa yang dipuja di Pura Bukit Dharma maka beliau akan selalu memberkati. Arca Durga Mahesamardini Astabuja yang disimbolkan dalam bentuk arca seorang wanita cantik bertangan delapan berkendaraan lembu memiliki makna perwujudan Gayatri. Arca tersebut simbol dari penyatuan kekuatan Tuhan Brahma, Wisnu, dan Siwa (Utpeti, Stiti, Pralina). Penataan Pura Bukit Dharma ditata dengan konsep Tri Loka, Bru Loka (Pura Manik Tirtha), Bhuah Loka (Pura Pentaran Agung), Swah Loka (Pura Pucak Dharma). Pada pucak inilah distanakan arca tersebut. Konsep Tri Mandala juga tertuang dalam penataan pura yaitu Nista Mandala (di depan candi bentar), Madya Mandala (di depan candi kurung), dan Utama Mandala (setelah memasuki candi kurung). Selain arca yang terdapat di pucak, di penataran agung juga terdapat beberapa arca yang masih terkait yaitu arca-arca Gedong Pesaren, Arca Budha, Siwa, Lingga Yoni, arca gedong Doho. Arca Gedong Doho ini kemungkinan berkaitan dengan leluhur Raja Sejoli. Kegiatan Tirtha Yatra Prajurit dan PNS TNI AD di Pura Bukit Dharma Durga Kutri ini, sebagai berikut : 1. Persembahyangan Bersama
2. Dharma Wacana oleh Kasubdisrohhinbud
3. Sejarah Pura Bukit Dharma Durga Kutri oleh Jro Bendesa Kutri
4. Makan Malam 5. Serpas Menuju Pura Tirtha Arum Bangli (16 Februari 2022) IV. Pura Tirta Arum - Bangli (Rabu, 16 Feb 2022) Sejarah keberadaan Pura Tirta Harum sangat erat kaitannya dengan kelahiran Sang Angga Tirta yang dikenal dalam khazanah sejarah sebagai cikal bakal pratisentana Maha Gotra Tirta Harum di Bali. Siapakah Sang Angga Tirta ? Berikut sejarah singkat : Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa adalah raja di Kerajaan Wengker, Daha, dan Keling. Dari segi genealogis atau hubungan kekerabatan, beliau adalah paman dan sekaligus menjadi mertua dari Raja Majapahit Hayam Wuruk. Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam prasasti Her Abang II berangka tahun 1384 Masehi, dan prasasti Tamblingan III berangka tahun 1398 Masehi. Dalem Keling menyandang gelar abhiseka Paduka Shri Maharaja Raja Parameswara Shri Wijaya Rajasa Sakala Praja Nanda Karana yang menjabat sebagai salah seorang anggota lembaga tertinggi di kedatuan Majapahit yang dikenal dalam sejarah sebagai Sapto Prabu, satu institusi penting dan menentukan di Kerajaan Majapahit pada periode pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Di Jawa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa hanya mempunyai seorang putri sehingga keturunannya di Kedatuan Majapahit adalah dari unsur wanita atau wadon. Setelah meninggal dimuliakan dengan abhiseka Shri Paduka Parameswara Sang Mokta ring Sunyalaya, diperabukan di Desa Manyar Gresik dalam bentuk sebuah Candi yang diberi nama Candi Wisnu Bhuwana serta untuk memulyakan arwah Bhre Wengker, maka dibangun sebuah candi bernama Candi Wisnubhuwanapura di Dusun Surowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri (Jawa Timur). Kemelut dan krisis kepemimpinan penguasa di Bali pada tahun 1380 Masehi mendorong Raja Majapahit Shri Natha Hayam Wuruk menugaskan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa sebagai anggota Pahom Narendra yang lebih dikenal dengan nama kelompok Sapto Prabhu di Kedatuan Majapahit untuk melaksanakan pergantian mahkota kerajaan dan menata pemerintahan di daerah taklukan Bali. Mencermati realitas sejarah atas kiprah Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa selama 9 (sembilan) tahun di Bali. Menurut Babad Purana Batur, Bhatara Guru atau Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa di Bali menurunkan tiga orang putri dan seorang putra. Putra bungsunya ini oleh Babad Batur atau Purana Batur dikisahkan lahir di Permandian Tirta Harum. Cuplikan yang tersurat dalam Purana Batur itu antara lain sebagai berikut : Bhatara Guru malih medruwe putra lanang I Gede Putu, cahi Putu manipuan cahi turunang Bapa ke Tirta Toya Mas Harum. Di lokasi pancuran yang dicatat dalam Purana Batur dengan nama Toya Tirta Mas Harum, ini telah berdiri Pura Tirta Harum yang merupakan salah satu pura bersejarah dan sekaligus menjadi juga pura kawitan, yang berhubungan dengan kisah Bhatara Wisnu Bhuwana yang mempersunting Dewi Njung Asti. Sang Angga Tirta dalam khazanah sejarah diketahui diangkat atau didharma putra oleh Dhang Hyang Aji Jaya Rembat sebagai putra angkat. Tidak bisa diragukan lagi bahwa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa adalah pembentuk, pembangun klan atau trah di Bali yang dikenal dengan sebutan saat ini sebagai Maha Gotra Tirta Harum. Babad Purana Batur menyuratkan bahwa Ni Dewi Njung Asti dipersunting oleh Bhatara Wisnu Bhuana berputra Sang Angga Tirtha. Putra satu-satunya inilah kelahirannya dikaitkan dengan mata air Tirta Harum yang disuratkan dalam Babad Purana Batur itu dalam rentang waktu yang panjang nantinya menurunkan raja-raja Tamanbali, Nyalian, dan Bangli. Interpretasi tentang mitologi yang menceritakan Bhatara Wisnu Bhuana yang turun dari sorga loka mempersunting Ni Dewi Njung Asti sampai saat ini masih sangat beragam. Namun konklusi yang dapat diambil dari mitologi ini setelah ditemukannya sumber-sumber primer sejarah sebagai hilikita berupa lempengan 21 lembar prasasti Her Abang II berangka tahun 1384 Masehi, 8 (delapan) lembar prasati dikeluarkan oleh Shri Maharaja Raja Paramerswara saat ini tersimpan di Pura Tuluk Biu Kintamani. Prasasti Tamblingan III berangka tahun 1398 Masehi, yang saat ini disimpan di Puri Gobleg Buleleng menguatkan dugaan para sejarawan bahwa yang dijuluki sebagai Bhatara Wisnu Bhuana dalam pariagem Purana Batur tiada lain adalah Dalem Keling yang menyandang Abhiseka Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa. Putranya yang paling bungsu yang bernama Sang Angga Tirta inilah kelahirannya dikaitkan dengan Pura Tirta Harum yang dikenal dalam khazanah sejarah sebagai cikal bakal pratisentana Maha Gotra Tirta Harum di Bali. Dalam rentang waktu yang panjang karena titah dan kehendak sejarah putra satu-satunya dari Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa menurunkan “warih” keturunan yang menjadi raja-raja di Kerajaan Tamanbali, Nyalian, dan Bangli. Dari Sejarah Kerajaan Bangli Tersebut empat para Hyang bersaudara bernama Sanghyang Angsanabra (Sekar Angsana) di Gelgel, Sanghyang Subali di Gunung Tolangkir, Sanghyang Aji Rembat di Pura Kentel Gumi. Sanghyang Mas Kuning di Giri Lor Abang. Sedangkan, Sanghyang Subali pergi ke jurang Melangit menciptakan air suci yang harum (Tirta Harum) pada hari Selasa, Kliwon, Julungwangi, purnama bulan keempat. Kemudian Sanghyang Subali mendirikan taman yang indah di sebelah barat laut Tirta Arum, diberi nama Taman Bali. Setelah itu, Sanghyang Subali menyerahkan Tirta Arum dari Taman itu kepada Sanghyang Aji Rembat. Sanghyang Subali moksa, menghadap Sanghyang Wisnu Bhuana memohon seorang anak, diberi nama Sang Angga Tirta. Anak tersebut diletakkan pada saluran air (pancuran) di Tirta Arum. Sanghyang Aji Rembat memungut bayi tersebut. Dan menerima wahyu, (sabda angkasa) dari Sanghyang Subali, bahwa anak itu adalah anugrah Dewa Wisnu bernama Angga Tirta dan kemudian agar diberi nama Sang Anom. Anak tersebut diupacarai oleh Sanghyang Aji Rembat dan berdiam di pura Agung Guliang. Tersebut bahwa Sanghyang Angsana di Gelgel mempunyai seorang putri bernama Dewa Ayu Mas Dalem . Karena, seringnya terserang penyakit, kemudian sembuh berkat pengobatan Sanghyang Aji Rembat di asramnya. Terjadi hubungan gelap (seperti suami istri) antara Sang Anom dengan Dewa Ayu Mas Dalem. Dewa Ayu Mas Dalem diantar ke Gelgel, Segera Sanghyang Sekar Angsana mengusut putrinya karena menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Sang putri mengaku terus terang berkat hubungannya dengan Sang Anom. Sanghyang Sekar Angsana mengirim pasukan untuk menyerang ke Pura Agung Guliang, menangkap Sang Anom namun gagal, Sang Anom tidak dijumpai. Sang Anom melarikan diri ke Alas Jarak Bang kemudian desa itu disebut Jagat Bali. Sang Anom menjadi incaran, dan pengejaranpun terus dilakukan dan Sang Anom tertangkap dan dibawa ke Gelgel. Sanghyang Aji Rembat amat kecewa, melaporkan hal itu secara gaib kepada Sanghyang Sekar Angsana di Gelgel perihal riwayat Sang Anom serta pantas menjadi suami Dewa Ayu Mas Dalem. Pernikahan pun segera dilakukan. Dari sudut pandang geneologi atau hubungan kekerabatan dapat ditelusuri bahwa dari segi kepurusa atau garis kebapakan darah yang mengalir di tubuh Sang Angga Tirta adalah darah kesatrya sedangkan dari unsur wadon atau garis keibuan mengalir darah catur pandita atau kebrahamanaan. Dengan mengikuti realitas sejarah itu dapat diambil kesimpulan bahwa Sang Angga Tirta sebagai cikal bakal Maha Gotra Tirta Harum di Bali adalah gur kesatrya kebrahmanaan. Ia adalah Satrya Dalem karena ayah biologisnya Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa adalah raja di Kerajaan Wengker, Daha, dan Keling, sedangkan Ni Dewi Njung Asti sebagai wanita cikal bakal dan sumber benih dari Sang Angga Tirta adalah putri dari Dhang Hyang Subali sebagai Manggala dan Bhagawanta Dalem Samprangan yang berdarah brahmana keturunan catur pandita di Bali. Dari sudut pandang historis sosiologis dapat dicermati bahwa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa yang berputra Sang Angga Tirta adalah sebagai Wamsakarta Maha Gotra Tirta Harum di Bali. Wamsakarta adalah akronim yang diberikan oleh para peneliti sejarah bagi sosok atau gur sejarah yang berhasil mengembangkan dan membentuk kewangsaan atau klan tertentu dan menjadi raja-raja pada kurun waktu tertentu serta dicermati ikut menentukan jalannya sejarah. Menurut babad Pasek bahwa Ki Pasek Sadri menjadi sisya di Pasraman Siladri dengan Dhang Acarya adalah Dhang Hyang Jaya Rembat. Setelah beberapa lama berguru spiritual dari Dhang Hyang Jaya Rembat maka Ki Pasek Sadri dipodgala sehingga kemudian menyandang nama Ki Dukuh Suladri. Dengan predikat sebagai pandita maka Ki Dukuh Suladri tinggal tak jauh dengan dhang guru nabenya yakni Dhang Hyang Jaya Rembat. Ki Dukuh Suladri lalu membangun sebuah pasraman yang letaknya disebelah utara dari pasraman Dhang Hyang Jaya Rembat masih berada dikawasan hutan dan sungai Melangit dekat dengan mata air Tirta Harum. Bekas pasraman Ki Dukuh Suladri ini berdiri sebuah pura kuno yang bernama Pura Taman Sari. Di pasraman Pura Taman Sari ini Ki Dukuh Suladri mengabdikan seluruh sisa hidupnya. Pedukuhan Taman Sari ini secara sosiologis menarik penduduk daerah sekitarnya untuk ikut tinggal bermukim disana. Kawasan yang subur dekat hutan dan sungai Melangit itu lama kelamaan menjadi tempat hunian penduduk dan secara historis tempat itu sampai saat ini dikenal dengan nama Banjar Dukuh. Babad Pasek secara panjang lebar menyuratkan bahwa Ki Dukuh Suladri yang membangun pasraman di Taman Sari itu menurunkan 4 (empat) orang putra- putri dari 2 (dua) orang istrinya. Disebutkan bahwa istri pertamanya anugrah dari Dalem Gelgel Shri Aji Dalem Semara Kepakisan dan istri keduanya keturunan Pasek Denpasar. Dari istri pertama anugrah Dalem Gelgel seorang dayang berasal dari Kamal diketahui Dukuh Suladri menurunkan dua orang putri kembar yang berparas cantik. Dua yang pertama diberi nama Ni Luh Ayu Sadri dan yang kedua diberi nama Ni Luh Ayu Sadra. Sedangkan dari istri keduanya lahir dua orang putra yang pertama diberi nama I Gede Pasek Sadri, sedangkan adiknya bernama Made Pasek Sadra. Sudah menjadi kehendak dan titah sejarah putra putri Ki Dukuh Suladri yang beranjak dewasa dan kedua putri kembarnya yang berparas cantik masing- masing Ni Luh Ayu Sadri bertemu jodoh dengan Sang Angga Tirta, sedangkan adiknya yang bernama Ni Luh Ayu Sadra dikisahkan dipersunting oleh Dalem Gelgel Shri Aji Dalem Baturenggong. Dari segi genealogi atau hubungan kekerabatan maka dapat dicermati bahwa Sang Angga Tirta yang setelah dewasa bernama I Dewa Gede Sang Anom Bagus itu adalah bersaudara ipar dengan Dalem Gelgel Shri Aji Baturenggong. Sudah menjadi kehendak sejarah pula bahwa putra dari Sang Angga Tirta dari perknikahan dengan Ni Luh Ayu Sadri yaitu Sang Garba Jata kawin dengan sepupunya bernama Ni Dewi Ayu Mas. Dikisahkan dalam babad Pasek bahwa Ni Luh Ayu Sadra yang dipersunting oleh Dalem Gelgel Shri Aji Waturenggong berputri Ni Dewi Ayu Mas. Mengikuti realitas sejarah diatas, maka keturunan Sang Angga Tirta merupakan kerabat dekat dari Dalem Gelgel Shri Aji Dalem Baturenggong. Dengan diangkatnya Sang Angga Tirta sebagai putra dharma dari Dhang Hyang Jaya Rembat maka secara dinastik Sang Angga Tirta adalah menjadi bujangga, sedangkan dari segi biologis kita mengetahui bahwa Sang Angga Tirta adalah putra biologis dari Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa. Hubungan kekerabatan yang sangat dekat itu menjadikan Sang Angga Tirta dan keturunannya memegang posisi sentral dalam khazanah sejarah Bali dan sangat wajar masuk dalam jajaran birokrasi kerajaan. Salah seorang putra Sang Angga Tirta dalam babad Purana Batur disuratkan dengan nama I Gede Putu diberi kedudukan disebuah kawasan yang kemudian menyandang sebutan I Dewa Manca Tamanbali, sesuai dengan daerah kekuasaannya yang menjadi dan bernama Kerajaan Tamanbali. Peristiwa lahirnya Kerajaan Tamanbali dan diangkatnya ketiga putra kesatriya dan brahmana itu dalam sejarah Bali tercatat terjadi pada tahun 1524 Masehi. Lahirnya Kerajaan Tamanbali pada tahun 1524 Masehi dengan raja pertamanya Sang Garbhajata memakai gelar abhiseka I Dewa Tamanbali adalah tonggak sejarah yang menumental bagi wangsa Maha Gotra Tirta Harum. Piodalan Pura Tirta Harum. Anggara Kasih Juluwangi Kegiatan Tirtha Yatra Prajurit dan PNS TNI AD di Pura Tirtha Arum ini, sebagai berikut : 1. Persembahyangan Bersama
2. Serpas menuju Pura Batur V. Pura Batur – Kintamani, Bangli (Rabu, 16 Februari 2022) Pura yang satu ini dikenal sebagai pura paling penting kedua di Pulau Bali. Tentunya setelah Pura Besakih. Jadi tidak heran kalau upacara keagamaan Hindu pun kerap dilakukan di tempat ini. Pura Ulun Danu Batur ini juga dikenal sebagai sebuah pura yang mempunyai usia sangat tua. Pura yang didirikan pada tahun 1926 ini pun dikenal dengan beberapa nama. Di antaranya adalah Pura Ulun Danu, Pura Batur ataupun pura Bat. Masyarakat Hindu di Kintamani mendirikan Pura Ulun Danu Batur ini sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Danu yang dikenal sebagai dewi sungai dan danau. Dan secara literal, Ulun Danu yang digunakan pada nama pura ini mempunyai arti dewi danau. Pura Batur ini merupakan sebuah kompleks yang terdiri sembilan pura. Di dalamnya pun terdapat sebanyak 285 paviliun dan candi. Paviliun serta candi yang ada di pura ini pun dibangun secara khusus untuk penghormatan kepada dewa dan dewi kesuburan, air, seni dan lain-lain. Pura ini juga mempunyai lima area utama. Dan yang paling dominan di tempat ini adalah meru 11 tingkat yang terletak pada bagian terdalam serta area paling suci dari Pura Batur. Selain itu, terdapat tiga meru 9 tingkat yang didedikasikan untuk Gunung Batur, Gunung Abang serta Ida Batara Dalem Waturenggong, raja yang pernah memerintah Dinasti Gelgel pada rentang antara 1460 hingga 1550. Sejarah Pura Ulun Danu Batur Menurut sejarahnya, dulu terdapat sebuah pura bernama Pura Batur yang lokasinya berada di bawah kaldera dan kaki Gunung Batur. Namun Pura Batur tersebut beserta dengan Desa Batur yang ada di sana mengalami kerusakan parah karena terjadi bencana letusan gunung pada tahun 1926. Sejak itu, masyarakat setempat pun akhirnya memilih untuk mengungsi serta memindahkan lokasi Pura Batur. Lokasi barunya pun kini terletak pada bagian atas kaldera. Dan hingga kini, Pura Ulun Danu Batur pun masih terjaga dan berdiri dengan kokoh. Lokasi Pura Ulun Danu Batur Pura Ulun Danu Batur ini terletak di Desa Kalanganyar di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Pulau Bali. Pura ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari pusat kota Bangli. Dan berada di dataran tinggi, suasana di Pura Batur ini pun cukup dingin. Tak hanya itu, pemandangan di sini juga sangat indah. Untuk menuju ke lokasi Pura Ulun Batur pun tidak terlalu sulit. Terlebih secara umum fasilitas transportasi di Pulau Bali memang cukup bagus. Terutama karena Pulau Bali merupakan destinasi wisata yang sangat populer dan banyak dikunjungi oleh wisatawan asing. Terutama karena tempat ini memang mempunyai desain yang menarik dan benar-benar memperlihatkan identitas Bali yang mayoritas dihuni oleh masyarakat Hindu. Kegiatan Tirtha Yatra Prajurit dan PNS TNI AD di Pura Batur, sebagai berikut : 1. Persembahyangan Bersama (Madyaning Puja)
2. Simakrama
3. Serpas Menuju tempat bermalam (Puri Kayubihi) 4. Menuju Pura Agung Besakih – Karangasem (Kamis, 17 Februari 2022) VI. Pura Besakih – Karangasem (Penutupan, Kamis, 17 Februari 2022) Pura Agung Besakih terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, berada di lereng sebelah barat daya Gunung Agung yang merupakan gunung tertinggi di Bali. Akses dari Kota Denpasar untuk mencapai tempat ini berjarak sekitar 25 km ke arah utara dari Kota Semarapura – Kabupaten Klungkung. Perjalanan menuju Pura Besakih melewati panorama Bukit Jambul yang juga merupakan salah satu obyek dan daya tarik wisata Kabupaten Karangasem. Letak Pura Besakih sengaja dipilih di desa yang dianggap suci karena letaknya yang tinggi, yang disebut Hulundang Basukih yang kemudian menjadi Desa Besakih. Nama Besakih diambildari Bahasa Sansekerta, wasuki atau dalam bahasa Jawa Kuno basuki yang berarti selamat. Selain itu, nama Pura Besakih didasari pula oleh mithologi Naga Basuki sebagai penyeimbang Gunung Mandara. Banyaknya peninggalan zaman megalitik, seperti menhir, tahta batu, struktur teras pyramid yang ditemukan di kompleks Pura Besakih menunjukkan bahwa sebagai tempat yang disucikan nampaknya Besakih berasal dari zaman yang sangat tua, jauh sebelum adanya pengaruh Agama Hindu. Kompleks Pura Besakih dibangun berdasarkan keseimbangan alam dalam konsep Tri Hita Karana, dimana penataannya disesuaikan berdasarkan arah mata angin agar struktur bangunannya dapat mewakili alam sebagai simbolisme adanya keseimbangan tersebut. Masing-masing-masing-masing arah mata angin disebut mandala dengan dewa penguasa yang disebut “Dewa Catur Lokapala” dimana mandala tengah sebagai porosnya, sehingga kelima mandala dimanifestasikan menjadi “Panca Dewata”. Penjabaran struktur bangunan Pura Besakih berdasarkan konsep arah mata angin tersebut, adalah : a. Pura Penataran Agung Besakih sebagai pusat mandala di arah Tengah dan merupakan pura terbesar dari kelompok pura yang ada, yang ditujukan untuk memuja Dewa Çiwa b. Pura Gelap pada arah Timur untuk memuja Dewa Içwara c. Pura Kiduling Kereteg pada arah Selatan untuk memuja Dewa Brahma d. Pura Ulun Kulkul pada arah Barat untuk memuja Dewa Mahadewa e. Pura Batumadeg pada arah Utara untuk memuja Dewa Wisnu. Kegiatan Tirtha Yatra Prajurit dan PNS TNI AD di Pura Besakih, sebagai berikut : 1. Persembahyangan Bersama
2. Penutupan Tirtha Yatra
3. Serpas menuju Makodam IX/Udayana 4. Pengecekan Personel dan materiil 5. Peserta Tirtha Yatra kembali ke Satuan Masing-masing

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tatap Muka Dengan Tokoh Agama, Kabintaldam IX/Udayana Ajak Jaga Stabilitas Keamanan

Bintaldam IX/Udayana Gelar Acara Tradisi Pelepasan Anggota Memasuki Masa Pensiun

Melayat Ke Rumah Duka Keluarga Anggota